Jumat, 02 Mei 2014

My Story : Yakusoku (1st Chapter)

            Semakin jari ini menggerakkan jarum kecil yang menyusun anyaman-anyaman monoton, kenangan masa lalu itu terajut kembali. Wajahku menengadah. Kau masih ingat janji itu, ‘kan, Ao?

~ Yamada Oozora ~


            Waktu berlalu begitu cepat. Mata ini masih memandang pemandangan yang sama. Sudah sepuluh tahun sejak janji itu terucap. Seperti lem yang mengikat kuat, kata-kata kami saat itu masih membekas di hati kami sampai sekarang. Bukan begitu, Sora?

~ Kazuhaya Takao ~




YAKUSOKU
OC © Kitsuneshi Rei a.k.a Fathan N. S.
Genre : Romance, Hurt/Comfort (?)
Rating : Setelah dipikir ulang sepertinya K+ XD
Warning : Two-shoot gagal, typo(s), gaje, abal-abal, nggak sesuai EYD, plot nggak jelas, garing, ending ngawur, dll.




CHAPTER 1
            Oozora sedang memberesi peralatan jahitnya ketika pintu kamarnya terketuk. Sembari menurunkan barang-barang yang ada di pangkuannya, gadis itu berjalan tergopoh-gopoh menuju sumber suara. Begitu terbuka, seorang pemuda muncul dari sana, lengkap dengan senyum seribu watt-nya yang sering membuat Oozora meleleh. Gadis itu membalas senyum Takao dan menyingkir dari depan pintu agar pemuda itu bisa masuk.

            “Wah, wah. Lihat siapa yang datang.” Oozora tersenyum jahil. “Kukira kau masih tidur.”

            Takao mencibir. “Kaupikir aku kerbau?”

            “Wo, tunggu sebentar,” cegat Oozora sambil mengangkat kedua tangannya. “Aku bahkan tidak mengatakan apa-apa tentang itu, lho! Kenapa kau sewot?” protesnya.

            Pemuda itu ingin membuka mulut, menyanggah perkataan Oozora. Namun akhirnya hanya tangannya sajalah yang bergerak,menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Surai coklat kehitamannya yang semula tersisir rapi kini acak-acakan. Oozora hanya menunjukkan seringai kemenangan. Melihat itu semua membuat Takao berjalan ke sudut kamar Oozora dan meringkuk di sana.

            Sembari meletakkan kotak berisi peralatan menjahitnya di meja kecil, Oozora terkekeh pelan. “Tak perlu pundung seperti itu. Aku juga pernah kau begitukan dulu,” hiburnya, atau lebih tepatnya membela dirinya sendiri. “Ngomong-ngomong, kau kemari bukan sebagai LC, ‘kan?”

            Kedua alis Takao bertautan. “LC?”

            “Kau tak tahu?” Alih-alih menjawab, Oozora malah bertanya balik. “LC itu Lost Child, kau tahu? Masa kau tak tahu hal semacam i—”

            Dengan sukses sebuah jitakan manis mendarat di kepala Oozora tanpa permisi dengan anggun dan gemulai. Gadis itu meringis memandangi empu si tangan yang berani-beraninya melakukan hal itu tanpa mengingat bahwa gadis itu memiliki berbagai benda tajam di sampingnya yang sayangnya tidak—terlambat—ia lemparkan sebelum jitakan itu mampir di kepalanya tadi. mata Oozora menyipit. Bukan seringai kemenangan yang ditunjukkan Takao. Pemuda itu malah meniup-niup tangan kanannya yang digunakan untuk menjitak Oozora tadi. Tak lupa ia menepukkan tangan dua kali dan berdoa.

            “Kau memaksa tanganku membuat dosa!” protes Takao gusar.

            Oozora menyeringai. “Haha! Lucu sekali, Sir!” tukasnya. “Jadi, bisakah kau katakan tujuanmu datang kemari pagi-pagi?”

            Takao kembali mengacak-acak surai coklat kehitamannya. Manik cokelatnya yang seolah tersenyum itu bertemu dengan manik hazel milik Oozora. “Mau menonton film baru? Shoujo, lho!”

            Krik...

            Krik... krik...

            Krik... krik... krik...

            Keheningan sesaat itu terpecah oleh tawa memekakkan Oozora. Oke, kesabaran Takao sedang diuji di sini. Gadis itu semakin menyebalkan ketika mulai bergelundungan di atas karpet sewarna langit. Tenang, Takao. Takao tidak apa-apa. Takao kuat, batin pemuda itu. Ia hanya bisa mengelus dada untuk mengendalikan napasnya yang mulai tidak teratur dan menahan tangannya agar tidak melakukan dosa lagi.

            “Tak kusangka pemuda kasar sepertimu menyukai hal berbau shoujo,” tawa Oozora sambil memegangi perutnya.

            Pemuda kasar? Bagus. Kata-kata itu begitu menohoknya.

            “Kau membuatku tertawa, Ao!” Kali ini gadis itu kembali bergelundungan.

            Jangan paksa aku untuk membunuhmu, Sora! Seorang Takao ini juga memiliki batas kesabaran!

            “Tapi,” Oozora menghapus butiran bening yang ada di pelupuk matanya, “sebenci apapun aku pada kesukaanmu itu, aku tetap menghargai temanku yang susah payah mengajakku menonton pagi-pagi seperti ini.” Seulas senyum terlukis di wajahnya yang cerah.

            Takao mendengus pelan. “Teman, ya?” gumamnya. “Kau benar-benar tidak mau mengakuinya, ya?”

            “Aku mengakuinya,” jawab Oozora ringan, “hanya saja kata ‘teman’ lebih enak di telingaku,”tambahnya. “Itu saja.”

            Hening, lalu sudut-sudut bibir Takao diangkat ke atas membentuk seulas senyum. Manis sekali. “Baka Sora.” Ia meletakkan tangannya di puncak kepala Oozora dan mengacak-acak surai hitam panjangnya dengan lembut. Sebuah perasaan hangat turun dari kepala gadis itu. Darah di wajahnya berdesir, menuai polesan merah di pipinya. Ditampiknya tangan Takao yang lebih besar darinya dan berlalu ke luar kamar dengan wajah tertunduk. O-oh. Tsundere mode-on rupanya.

            Takao tersenyum simpul. Ia duduk di atas karpet yang tadi dipakai Oozora untuk bergelundungan. Pemuda itu menopangkan dagu dengan siku bertumpu di atas meja kecil yang terletak di tengah-tengah karpet. Manik cokelat itu tampak tertarik dengan benda-benda kecil nan manis yang terletak di depannya. Jarum, benang dengan berbagai warna, manik-manik dan berbagai kancing dengan berbagai ukuran, serta gunting kecil berwarna hitam—tolong ingatkan Takao untuk menyembunyikan gunting itu karena walaupun kecil, gunting itu tentunya ‘berpotensi’ dan tak segan-segan ‘menerjang’ atau ‘menancap’ di kepalanya saat Oozora murka. Pasalnya Oozora suka ‘melemparkan’ barang-barang yang ada di dekatnya saat ia murka. Dan Takao tak mau mengambil resiko ‘dikejar’ atau ‘dipeluk’ oleh benda-benda keras nan tajam itu—tertata rapi di kotak yang berukuran 26x19. Sejak kecil Oozora memang suka menjahit—mulai dari sulaman amburadulnya ketika sekolah dasar hingga baju-baju cosplay-nya yang berhamburang saat ini. Dua remaja yang cukup aneh (?) ini—Takao dan Oozora—memang hobi ber-cosplay ria, tentu saja dengan baju buatan Oozora sendiri dan pengabadian yang dilakukan oleh Takao yang profesional dalam dunia fotografer. Takao suka memotret, dan kesenangannya itu—mungkin—diwarisi dari ayahnya yang merupakan seorang fotografer profesional.

            Oozora kembali dengan nampan berisi dua cangkir dengan teh yang masih mengepul dan sepiring cookies yang baru matang dan meletakkannya di meja kecil. Takao segera mencomot sepotong cookie.

            “Kau tidak berniat untuk menghabiskan semua itu sendirian, ‘kan?” tanya Oozora sambil menyeruput tehnya. Aroma yang terbawa oleh kepulan asap panas itu menggelitik hidung Oozora. Sudut-sudut bibirnya terangkat, membentuk seulas senyum kecil.

            Takao mengerucutkan bibirnya. “Kau pikir aku serakus itu?” balasnya gusar. “Ngomong-ngomong, siapa yang membuat cookie ini? Enak sekali!” celetuknya kemudian. Tangannya kembali mencomot sepotong cookie.

            Sembari berdeham dengan nada bangga, Oozora menjawab, “Tentu saja orang hebat yang berada di depanmu ini!” Bibir Oozora membentuk sebuah seringaian.

            Tiba-tiba saja tubuh Takao bergetar. Air mukanya menegang dan matanya terbelalak. Maniknya menatap cookie-cookie itu dengan binar ketakutan. “Kau... tidak menambahkan sesuatu yang aneh-aneh, ‘kan?”

            ...

            Suara jangkrik kembali terdengar, dan berhenti kembali. Makhluk kecil itu mungkin sudah kabur menyelamatkan diri mengingat aura hitam-ungu-biru bercampur di belakang Oozora. Matanya memincing, kemudian beralih ke gunting kecil nan manisnya yang bertengger di kotak tempat peralatan menjahitnya. Tangannya bergerak perlahan, berusaha meraihnya. Namun, niat jahat bin buruknya itu harus kandas di tengah jalan karena Takao yang lebih cepat sepersekian detik sudah merebut gunting itu duluan dan menyembunyikannya. Oozora mencibir, sedangkan Takao memperlihatkan seringai kali-ini-aku-menang miliknya.

            Seringai kemenangan itu pun masih tampak ketika Takao mengambil cangkir tehnya yang masih terisi penuh di atas meja. Dihirupnya asap teh itu perlahan, membiarkan aromanya mengisi rongga hidung pemuda itu. “Wangi ini... Darjeeling Tea, ya?” Takao menyeruput tehnya. Cairan hangat itu perlahan turun, membuat tubuh Takao juga menghangat.

            Surai hitam itu bergerak maju dan mundur, mengikuti anggukan kepala sang empu. “Aku lupa kalau kau paling peka mengenai hal ini,” timpal Oozora tersenyum. “Jadi, bagaimana kalau kita menonton film itu sekarang sebelum camilan ini habis?”

            Sekeping benda berbentuk bundar dengan lubang lingkaran di tengahnya keluar dari tempat persembunyiannya dan bersiap untuk memasuki DVD player. Takao menunjukkan deretan gigi putihnya. “Yes, my lady.”


- YAKUSOKU -


“Enam... Ah, sembilan puluh menit kurang ternyata.” Takao mengerling pada jam dinding yang bertengger di atas sana. Tangannya meraih cangkir teh dan meminumnya sampai tidak ada setetespun yang tersisa.

“Setting Victorian, ya?” gumam Oozora. Kelopak matanya bergerak naik-turun dengan teratur. Manik matanya tak bisa menyembunyikan binar-binar ketertarikan.

“Sepertinya begitu,” jawab Takao. “Suasana Inggris abad delapan belasannya begitu terasa,” tambahnya. “Memangnya kenapa?”

Lagi-lagi binar ketertarikan itu terlihat. Bibir Oozora membentuk lengkungan senyum. “Aku punya ide!”


- To be Continued - 





Gomen, Minna-san! T-T Kitsune baru bisa muncul sekarang gara-gara terlalu larut sama persiapan UN! :'( (mau UN kok malah main ke sini sih non? -_-" *ditabok*) Tolong maklumi Kitsune yang baru konslet ini, ya, Minna! :') Gomen kalau ada typo yang bertebaran di atas sana xD *dibantai* Semoga kata-katanya nggak terlalu kaku mengingat Kitsune udah jarang nulis sekarang :D
Ja, Kitsune mau lanjut belajar dulu, nee! :D (sekali-kali Kitsune juga butuh mampir ke sini buat refreshing XD *digampar*) Jaa nee! :D Minta doa restunya, ya, Minna! :D :)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar