Semakin jari ini menggerakkan jarum kecil
yang menyusun anyaman-anyaman monoton, kenangan masa lalu itu terajut kembali.
Wajahku menengadah. Kau masih ingat janji itu, ‘kan, Ao?
~
Yamada Oozora ~
Waktu berlalu begitu cepat. Mata ini masih
memandang pemandangan yang sama. Sudah sepuluh tahun sejak janji itu terucap.
Seperti lem yang mengikat kuat, kata-kata kami saat itu masih membekas di hati
kami sampai sekarang. Bukan begitu, Sora?
~
Kazuhaya Takao ~
YAKUSOKU
OC © Kitsuneshi Rei a.k.a Fathan N. S.
Genre : Romance, Hurt/Comfort (?)
Rating : Setelah dipikir ulang sepertinya K+ XD
Warning : Two-shoot gagal, typo(s),
gaje, abal-abal, nggak sesuai EYD, plot nggak jelas, garing, ending ngawur,
dll.
CHAPTER 1
Oozora
sedang memberesi peralatan jahitnya ketika pintu kamarnya terketuk. Sembari
menurunkan barang-barang yang ada di pangkuannya, gadis itu berjalan tergopoh-gopoh
menuju sumber suara. Begitu terbuka, seorang pemuda muncul dari sana, lengkap
dengan senyum seribu watt-nya yang sering membuat Oozora meleleh. Gadis itu
membalas senyum Takao dan menyingkir dari depan pintu agar pemuda itu bisa
masuk.
“Wah,
wah. Lihat siapa yang datang.” Oozora tersenyum jahil. “Kukira kau masih
tidur.”
Takao
mencibir. “Kaupikir aku kerbau?”
“Wo,
tunggu sebentar,” cegat Oozora sambil mengangkat kedua tangannya. “Aku bahkan
tidak mengatakan apa-apa tentang itu, lho! Kenapa kau sewot?” protesnya.
Pemuda
itu ingin membuka mulut, menyanggah perkataan Oozora. Namun akhirnya hanya
tangannya sajalah yang bergerak,menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Surai
coklat kehitamannya yang semula tersisir rapi kini acak-acakan. Oozora hanya
menunjukkan seringai kemenangan. Melihat itu semua membuat Takao berjalan ke
sudut kamar Oozora dan meringkuk di sana.
Sembari
meletakkan kotak berisi peralatan menjahitnya di meja kecil, Oozora terkekeh
pelan. “Tak perlu pundung seperti itu. Aku juga pernah kau begitukan dulu,”
hiburnya, atau lebih tepatnya membela dirinya sendiri. “Ngomong-ngomong, kau
kemari bukan sebagai LC, ‘kan?”
Kedua
alis Takao bertautan. “LC?”
“Kau tak tahu?” Alih-alih menjawab, Oozora malah bertanya
balik. “LC itu Lost Child, kau tahu?
Masa kau tak tahu hal semacam i—”
Dengan
sukses sebuah jitakan manis mendarat di kepala Oozora tanpa permisi dengan
anggun dan gemulai. Gadis itu meringis memandangi empu si tangan yang
berani-beraninya melakukan hal itu tanpa mengingat bahwa gadis itu memiliki
berbagai benda tajam di sampingnya yang sayangnya tidak—terlambat—ia lemparkan
sebelum jitakan itu mampir di kepalanya tadi. mata Oozora menyipit. Bukan
seringai kemenangan yang ditunjukkan Takao. Pemuda itu malah meniup-niup tangan
kanannya yang digunakan untuk menjitak Oozora tadi. Tak lupa ia menepukkan
tangan dua kali dan berdoa.
“Kau
memaksa tanganku membuat dosa!” protes Takao gusar.
Oozora
menyeringai. “Haha! Lucu sekali, Sir!” tukasnya. “Jadi, bisakah kau katakan
tujuanmu datang kemari pagi-pagi?”
Takao
kembali mengacak-acak surai coklat kehitamannya. Manik cokelatnya yang seolah
tersenyum itu bertemu dengan manik hazel milik Oozora. “Mau menonton film baru?
Shoujo, lho!”
Krik...
Krik...
krik...
Krik...
krik... krik...
Keheningan
sesaat itu terpecah oleh tawa memekakkan Oozora. Oke, kesabaran Takao sedang
diuji di sini. Gadis itu semakin menyebalkan ketika mulai bergelundungan di
atas karpet sewarna langit. Tenang,
Takao. Takao tidak apa-apa. Takao kuat, batin pemuda itu. Ia hanya bisa
mengelus dada untuk mengendalikan napasnya yang mulai tidak teratur dan menahan
tangannya agar tidak melakukan dosa lagi.
“Tak
kusangka pemuda kasar sepertimu menyukai hal berbau shoujo,” tawa Oozora sambil
memegangi perutnya.
Pemuda
kasar? Bagus. Kata-kata itu begitu menohoknya.
“Kau
membuatku tertawa, Ao!” Kali ini gadis itu kembali bergelundungan.
Jangan paksa aku untuk membunuhmu, Sora!
Seorang Takao ini juga memiliki batas kesabaran!
“Tapi,”
Oozora menghapus butiran bening yang ada di pelupuk matanya, “sebenci apapun
aku pada kesukaanmu itu, aku tetap menghargai temanku yang susah payah mengajakku
menonton pagi-pagi seperti ini.” Seulas senyum terlukis di wajahnya yang cerah.
Takao
mendengus pelan. “Teman, ya?” gumamnya. “Kau benar-benar tidak mau mengakuinya,
ya?”
“Aku
mengakuinya,” jawab Oozora ringan, “hanya saja kata ‘teman’ lebih enak di
telingaku,”tambahnya. “Itu saja.”
Hening,
lalu sudut-sudut bibir Takao diangkat ke atas membentuk seulas senyum. Manis sekali.
“Baka Sora.” Ia meletakkan tangannya di puncak kepala Oozora dan mengacak-acak
surai hitam panjangnya dengan lembut. Sebuah perasaan hangat turun dari kepala
gadis itu. Darah di wajahnya berdesir, menuai polesan merah di pipinya. Ditampiknya
tangan Takao yang lebih besar darinya dan berlalu ke luar kamar dengan wajah
tertunduk. O-oh. Tsundere mode-on rupanya.
Takao
tersenyum simpul. Ia duduk di atas karpet yang tadi dipakai Oozora untuk
bergelundungan. Pemuda itu menopangkan dagu dengan siku bertumpu di atas meja
kecil yang terletak di tengah-tengah karpet. Manik cokelat itu tampak tertarik
dengan benda-benda kecil nan manis yang terletak di depannya. Jarum, benang
dengan berbagai warna, manik-manik dan berbagai kancing dengan berbagai ukuran,
serta gunting kecil berwarna hitam—tolong ingatkan Takao untuk menyembunyikan
gunting itu karena walaupun kecil, gunting itu tentunya ‘berpotensi’ dan tak
segan-segan ‘menerjang’ atau ‘menancap’ di kepalanya saat Oozora murka. Pasalnya
Oozora suka ‘melemparkan’ barang-barang yang ada di dekatnya saat ia murka. Dan
Takao tak mau mengambil resiko ‘dikejar’ atau ‘dipeluk’ oleh benda-benda keras
nan tajam itu—tertata rapi di kotak yang berukuran 26x19. Sejak kecil Oozora
memang suka menjahit—mulai dari sulaman amburadulnya ketika sekolah dasar
hingga baju-baju cosplay-nya yang berhamburang saat ini. Dua remaja yang cukup
aneh (?) ini—Takao dan Oozora—memang hobi ber-cosplay ria, tentu saja dengan
baju buatan Oozora sendiri dan pengabadian yang dilakukan oleh Takao yang
profesional dalam dunia fotografer. Takao suka memotret, dan kesenangannya itu—mungkin—diwarisi
dari ayahnya yang merupakan seorang fotografer profesional.
Oozora
kembali dengan nampan berisi dua cangkir dengan teh yang masih mengepul dan
sepiring cookies yang baru matang dan meletakkannya di meja kecil. Takao segera
mencomot sepotong cookie.
“Kau
tidak berniat untuk menghabiskan semua itu sendirian, ‘kan?” tanya Oozora
sambil menyeruput tehnya. Aroma yang terbawa oleh kepulan asap panas itu
menggelitik hidung Oozora. Sudut-sudut bibirnya terangkat, membentuk seulas
senyum kecil.
Takao
mengerucutkan bibirnya. “Kau pikir aku serakus itu?” balasnya gusar. “Ngomong-ngomong,
siapa yang membuat cookie ini? Enak sekali!” celetuknya kemudian. Tangannya kembali
mencomot sepotong cookie.
Sembari
berdeham dengan nada bangga, Oozora menjawab, “Tentu saja orang hebat yang
berada di depanmu ini!” Bibir Oozora membentuk sebuah seringaian.
Tiba-tiba
saja tubuh Takao bergetar. Air mukanya menegang dan matanya terbelalak. Maniknya
menatap cookie-cookie itu dengan binar ketakutan. “Kau... tidak menambahkan
sesuatu yang aneh-aneh, ‘kan?”
...
Suara
jangkrik kembali terdengar, dan berhenti kembali. Makhluk kecil itu mungkin
sudah kabur menyelamatkan diri mengingat aura hitam-ungu-biru bercampur di
belakang Oozora. Matanya memincing, kemudian beralih ke gunting kecil nan manisnya
yang bertengger di kotak tempat peralatan menjahitnya. Tangannya bergerak
perlahan, berusaha meraihnya. Namun, niat jahat bin buruknya itu harus kandas
di tengah jalan karena Takao yang lebih cepat sepersekian detik sudah merebut
gunting itu duluan dan menyembunyikannya. Oozora mencibir, sedangkan Takao
memperlihatkan seringai kali-ini-aku-menang miliknya.
Seringai
kemenangan itu pun masih tampak ketika Takao mengambil cangkir tehnya yang
masih terisi penuh di atas meja. Dihirupnya asap teh itu perlahan, membiarkan
aromanya mengisi rongga hidung pemuda itu. “Wangi ini... Darjeeling Tea, ya?” Takao menyeruput tehnya. Cairan hangat itu
perlahan turun, membuat tubuh Takao juga menghangat.
Surai
hitam itu bergerak maju dan mundur, mengikuti anggukan kepala sang empu. “Aku
lupa kalau kau paling peka mengenai hal ini,” timpal Oozora tersenyum. “Jadi,
bagaimana kalau kita menonton film itu sekarang sebelum camilan ini habis?”
Sekeping
benda berbentuk bundar dengan lubang lingkaran di tengahnya keluar dari tempat
persembunyiannya dan bersiap untuk memasuki DVD
player. Takao menunjukkan deretan gigi putihnya. “Yes, my lady.”
-
YAKUSOKU -
“Enam...
Ah, sembilan puluh menit kurang ternyata.” Takao mengerling pada jam dinding
yang bertengger di atas sana. Tangannya meraih cangkir teh dan meminumnya
sampai tidak ada setetespun yang tersisa.
“Setting
Victorian, ya?” gumam Oozora. Kelopak matanya bergerak naik-turun dengan
teratur. Manik matanya tak bisa menyembunyikan binar-binar ketertarikan.
“Sepertinya
begitu,” jawab Takao. “Suasana Inggris abad delapan belasannya begitu terasa,”
tambahnya. “Memangnya kenapa?”
Lagi-lagi
binar ketertarikan itu terlihat. Bibir Oozora membentuk lengkungan senyum. “Aku
punya ide!”
- To be Continued -
Gomen, Minna-san! T-T Kitsune baru bisa muncul sekarang gara-gara terlalu larut sama persiapan UN! :'( (mau UN kok malah main ke sini sih non? -_-" *ditabok*) Tolong maklumi Kitsune yang baru konslet ini, ya, Minna! :') Gomen kalau ada typo yang bertebaran di atas sana xD *dibantai* Semoga kata-katanya nggak terlalu kaku mengingat Kitsune udah jarang nulis sekarang :D
Ja, Kitsune mau lanjut belajar dulu, nee! :D (sekali-kali Kitsune juga butuh mampir ke sini buat refreshing XD *digampar*) Jaa nee! :D Minta doa restunya, ya, Minna! :D :)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar