Always....
Kapan,
ya, aku bisa keluar dari istana ini dan berkenalan dengannya? batin gadis berambut pirang sebatas siku
memakai gaun bergaya victoria berwarna
biru laut sambil mengamati keluar jendela kamarnya yang luas. Pandangannya
tertuju pada pemuda berambut oranye kemerahan yang membawa buku-buku pelajaran.
Gadis itu memandangi setiap gerak-gerik sang pemuda dengan pandangan tertarik.
“Putri Whalle, Raja
Oceana memanggil anda untuk menemui beliau sekarang,” panggil seorang dayang
yang sudah berada di dalam kamar gadis yang ternyata seorang putri.
Whalle menoleh kearah si
dayang. “Baiklah, Norris. Aku akan ke sana.”
Dayang yang dipanggil
Norris itu mendekati Whalle. “Saya lihat putri selalu memandangi jendela
akhir-akhir ini? Ada apa gerangan?”
Whalle membuka kotak
musiknya yang berwarna emas kecoklatan. Musik mengalun ketika kotak itu
terbuka. Kotak musik yang sekaligus berfungsi sebagai tempat penyimpanan tiara emas
khas Kerajaan Oceana yang berhias cangkang kerang dan permata berwarna biru
muda milik Whalle. ‘Seorang putri wajib memakai tiara saat menemui raja atau
pada saat acara penting lainnya,’ begitulah peraturan di Kerajaan Oceana.
“Tak apa. Hanya saja, aku
ingin keluar istana dan berkenalan dengan orang-orang luar.”
Norris membelai rambut Whalle.
Keluarga Kerajaan Oceana memang dekat dengan para dayangnya. “Jika konflik
dengan Kerajaan Volcano usai, putri pasti bisa keluar istana.”
Whalle menghela napas panjang.
“Tapi kapan konflik ini berakhir? Aku benci!”
“Konflik tak akan
selamanya berlangsung, Putri Whalle,” tenang Norris. “Konflik pasti akan
berakhir.”
Whalle mengangguk lemas.
Ia tak tahu kapan ia bisa menyapa pemuda yang selalu ia amati. Kerajaan Oceana
dan Kerajaan Volcano, kerajaan yang mempunyai elemen berlawanan tetapi tetap
rukun. Tapi sejak perseteruan kepala daerah dari kedua belah pihak yang tak mau
mengalah, terjadilah konflik seperti saat ini. Karena itulah anggota kerajaan Oceana
tak boleh keluar—termasuk Whalle sendiri—karena ditakutkan akan ada penawanan. Whalle, kedua kakak,
dan adiknya tak bisa keluar istana. Putri Whalle harus merelakan waktunya untuk
belajar di sekolah sampai konflik mereda. Walaupun pasrah, Putri Whalle tak
bisa menahan diri untuk tak merindukan suasana diluar tembok istana.
***
Whalle baru saja menuruni tangga ketika
melihat kedua kakak dan adiknya juga berkumpul di singasana ayahnya. “Ada apa
gerangan Ayahanda memanggil Whalle?”
“Begini,” mulai Raja
Oceana, “Kakak kalian, Starolle Oceana, ayah rencanakan untuk ikut mengatasi
konflik di daerah Blue Coral.”
“Eh? Kak Starolle ikut?
Memangnya pasukan kerajaan kemana?” seru Wavera, kakak kedua Whalle.
“Kerajaan kita kekurangan
pasukan saat ini. Jendral meminta ayah untuk mengikutkan anak laki-laki di
kerajaan kita untuk mengatasi konflik ini. Jika ayah hanya mengikutkan rakyat
saja, tentunya tak adil, sedangkan ayah juga mempunya anak laki-laki. Makanya
Starolle ayah ikutkan,” jelas Raja Oceana. “Kau tak keberatan, kan, Starolle?”
Starolle mengangguk.
“Demi kedamaian, Starolle rela melakukan apapun, Ayah.”
Setelah Starolle bicara,
seorang anak laki-laki mengangkat tangan kanannya ke udara. Raja Oceana yang
tahu maksudnya pun berkata, “Ada yang ingin kau bicarakan, Sharkora?”
Adik Whalle yang bernama
Sharkora itu menurunkan tangannya lalu berkata, “Bolehkah aku ikut?”
Raja Oceana mengangkat
sebelah alisnya, lalu menggeleng pelan. “Umurmu baru 13 tahun, sedangkan minimal
yang terjun ke daerah konflik harus berumur 17 tahun.”
Sharkora cemberut setelah
mendengar perkataan Raja Oceana. Tentu saja. Sudah lama ia menantikan ini
setelah bertahun-tahun mempersiapkan diri. Terjun ke daerah konflik atau ke
medan perang, itulah yang ia inginkan. Sharkora memang suka tantangan, tapi
sayangnya ia harus menjadi ‘si Bungsu’. Coba saja jika ia hanya lebih muda 1
tahun daripada Starolle yang berumur 19 tahun. Pasti ia dibolehkan, malah
diperintahkan untuk ikut.
Whalle yang melihat mimik
wajah adiknya hanya terkikik pelan. Whalle adalah anak ketiga dari empat
bersaudara. Kakak pertamanya adalah Starolle Oceana, berumur 19 tahun. Ia sudah
dipersiapkan untuk menjadi raja Oceana yang berikutnya. Kakak keduanya adalah
Wavera Oceana, tunangan Pangeran Clavo dari kerajaan Clover yang berumur 17
tahun. Kemudian adik Whalle satu-satunya adalah Sharkora Oceana, berumur 13
tahun yang menjadikan Starolle sebagai motivasinya. Whalle sendiri berumur 15
tahun, menjadi senior di sekolah kerajaan dan juga sebagai ketua organisasi
terkemuka di sekolahnya. Gadis ini mempunyai kemampuan memanah target dengan
tepat dan ahli dalam berkuda.
“Baiklah, untuk para anak
laki-laki silahkan kembali mengerjakan aktivitas masing-masing,” perintah Raja
Oceana seperti seorang jendral yang memerintah prajuritnya. “Bubar, jalan!”
Setelah Starolle dan
Sharkora tak ada di ruangan tersebut, Raja Oceana kembali bicara. “Baiklah,
sekarang ayah akan jelaskan kenapa ayah memanggil para tuan putri yang
manis-manis ini.”
Whalle melengos,
sedangkan Wavera tertawa pelan. Whalle yang tak terima segera berkata dengan
nada sinis dan tatapan khas pembunuh berdarah dingin. “Apa?!”
Wavera menatap ayahnya
sambil berusaha menahan tawanya. “Seharusnya ayahanda tahu bahwa Whalle tak mau
disebut ‘Tuan Putri yang Manis’,” ujarnya. Tawanya akhirnya meledak. Kali ini volume
tawanya semakin keras.
“Jika Kak Clavo tahu
tingkah kakak saat ini, ia pasti segera membuang cincin pertunangannya dengan
kakak,” balasnya sambil menutup kedua telinganya dengan tangan.
“Teganya kau,” ujar
Wavera dengan nada memelas tapi memasang wajah mengejek.
Raja Oceana hanya
tersenyum simpul. Whalle dan Wavera memang sering melakukan kegiatan
saling-mengejek-satu-sama-lain seperti saat ini. Walaupun begitu, kedua putri
tersebut tetap kompak jika membahas hal-hal favorit mereka.
“Kalian sudah selesai?” tanya Raja Oceana
setelah beberapa saat Whalle dan Wavera berdebat.
Kedua putri tersebut menoleh kearah ayah
mereka, lalu berpandangan. “Sudah, Ayah!” jawab mereka berdua, kompak.
“Baiklah,” kata Raja Oceana, “Kemarin ayah
mendapat undangan dari kerajaan sebelah. Mereka mengundang kalian berdua untuk
mendatangi pesta topeng di sana.”
Wavera mengangkat tangan kanannya seraya
berkata, “Apakah Kerajaan Clover juga diundang?”
“Tentu saja, Wavera. Pangeran Clavo dan adik
kembarnya, Putri Clova, juga akan menghadiri pesta itu,” jelas Raja Oceana.
Whalle langsung sweatdrop. “Dasar orang yang sedang kasmaran,” gumamnya.
“Apa katamu?!” pekik Wavera.
“Orang yang sedang kasmaran!”
***
“Ada masalah apa yang membuat ayah
memanggilku ke sini?” tanya seorang pemuda berambut oranye kemerahan yang
berdiri menghadap ayahnya, Raja Volcano.
“Kerajaan kita mendapat
undangan pesta topeng dari kerajaan sebelah, dan undangan itu ditujukan padamu,”
jelas Raja Volcano.
“Lho? Aku tidak membantu
di daerah konflik, ya?” tanyanya lagi.
“Umurmu masih 15 tahun,
Phoe. Pasukan yang terjun ke daerah konflik minimal harus berumur 17 tahun,”
kata Raja Volcano. “Kau, kan, pangeran satu-satunya di kerajaan ini. Tentu saja
kau harus datang untuk mewakili kerajaan kita.”
Pemuda yang ternyata
pangeran bernama Phoe itu menghela napas panjang. “Pasti akan membosankan.”
“Oh, ayolah. Banyak
pangeran dan putri dari kerajaan lain yang diundang, kok. Siapa tahu kau bisa
mendapat teman baru,” rayu raja yang masih berusia sekitar akhir 30-an itu.
“Baiklah, ayah,” kata
sang pangeran sambil mengangkat kedua tangannya, pasrah. “Aku akan datang.”
Raja Volcano tersenyum
simpul. “Sekarang kau boleh kembali.”
Phoe berbalik menuju
kamarnya. Ia malas berteman. Kebanyakan temannya mau berteman dengannya karena
ia adalah seorang pangeran Kerajaan Volcano. Para penjilat, itulah yang bisa
menggambarkan mereka. Karena kakaknya membantu di daerah konflik, ia menjadi
putra satu-satunya yang tinggal di istana. Dan untuk menghibur diri karena
kesepian, Phoe sering berkunjung di Kerajaan Oceana. Tentu saja dengan
penyamaran dan tanpa diketahui oleh para pengawal istana.
“Semoga saja aku bisa
bertahan di pesta itu,” gumam Phoe.
***
“Kakak yakin aku pantas
mengenakan gaun ini?”
“Tentu saja, adikku
sayang,” kata Wavera menggoda.
Whalle merengut. Ia
memandang dirinya yang terbungkus oleh gaun bergaya victoria di cermin dari atas sampai bawah. Gaun terusan berwarna
ungu dikombinasi dengan renda warna merah muda dan ditambah dengan rompi yang
senada dengan bajunya terlihat manis. Rambut pirang panjangnya dibiarkan
tergerai namun tertata dengan rapi dan apik. Topengnya berwarna biru muda
dengan hiasan tiga helai bulu berwarna biru tua. Tentu saja ia juga memakai
tiara khas Kerajaan Oceana-nya.
“Kakak benar-benar yakin
aku cocok mengenakan gaun ini?” tanyanya ragu.
“Kau ingin mengenakan
gaun berwarna biru?” Wavera balik bertanya.
Whalle mengangguk.
Wavera menarik napas panjang. “Biru saja yang
ingin kau gunakan. Kau juga harus memakai warna lain agar tidak bosan.”
“Tapi, aku tak yakin...”
“Sudahlah,” ujar Wavera sambil berkacak
pinggang. “Dari tadi kau bertanya terus tentang penampilanmu. Sekarang biarkan
aku yang bertanya. bagaimana penampilanku ini?”
Whalle memandangi kakaknya dari atas sampai
bawah. Ia mengenakan gaun terusan dengan lengan sesiku berwarna oranye dengan
renda dan pita dibagian belakang berwarna kuning yang juga bergaya victoria. Rambutnya yang berwarna pirang
gelap juga dibiarkan tergerai dan dihiasi bunga chrysant dibagian samping. Topengnya
berwarna merah dengan renda merah muda yang menghiasi bingkai topeng tersebut.
Ia juga mengenakan tiara seperti Whalle, namun tiara Wavera lebih besar dan permata
yang berada di tiara tersebut berwarna biru tua.
“Kakak cantik, kok. Kak Clavo pasti semakin
sayang pada kakak,” goda Whalle.
Wavera tersipu. “Jangan menggodaku seperti
itu!”
“Biarin!”
“Kau!”
***
“Harus pakai topeng, ya?” gumam Phoe pada
dirinya sendiri.
Saat Phoe mencari topeng yang senada dengan
bajunya, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Phoe berjalan mendekati pintu
dan membukanya. Tampak seorang pemuda berumur sekitar 20 tahunan berdiri di ambang
pintu sambil menyunggingkan senyum manis. Baju prajurit kerajaan Volcano
membungkus badannya.
Phoe mengangkat sebelah alisnya. “Kakak
kenapa pulang?”
Pemuda tersebut ternyata kakak Phoe, Fore
Volcano yang membantu di daerah konflik. Ia mengacak-acak rambut oranye
kemerahan adiknya dengan gemas. “Hanya mengambil bahan makanan,” katanya, “Kau
cocok memakai baju itu.”
“Kakak yakin?”
Fore mengamati baju Phoe dari atas sampai
bawah. Phoe mengenakan setelan berwarna merah redup dengan hiasan emas dibagian
pinggir ditambah slayer berwarna
oranye, senada sekali dengan rambutnya yang berwarna oranye kemerahan.
“Aku tidak bohong,” kata Fore meyakinkan. “Mana
topeng dan mahkotamu?”
Phoe berbalik kearah mahkota yang ia letakkan
di mejanya, kemudian beralih menuju rak meja tersebut, mencari benda yang
disebut topeng itu. Setelah beberapa menit mencari, ia mengacungkan topeng
berwarna merah-oranye polos dan mengenakan mahkota emas dengan hiasan tiga
permata berwarna oranye.
Fore mengambil topeng itu dari tangan Phoe dan
mengamatinya. “Sepertinya kau masih tergila-gila dengan warna merah dan oranye.
Bukan begitu?” tanyanya, “Tampaknya kau masih bertahan dengan mahkotamu itu
walaupun kau lebih suka mahkotaku.”
Phoe hanya mendengus. Ia memang suka warna
merah dan oranye. Walaupun begitu, ia lebih suka merah, karena merah
menyimbolkan keberanian dan semangat yang berkobar seperti api. Itulah yang
menjadi motivasi Phoe selama ini. Berani menakhlukkan tantangan didepan mata
dengan semangat yang membara. Phoe memang lebih menyukai mahkota kakaknya yang
berhias tiga permata berwarna merah. Namun ia telah menerimanya karena memang
inilah derita menjadi anak bungsu.
“Sudahlah, cepat berangkat sana. Kau bisa
dimarahi ayah jika terlambat,” usir Fore sambil mendorong Phoe keluar kamar.
“Enak saja! Ini kamarku! Kenapa kakak yang
mengusirku? Seharusnya kakak yang pergi dari sini!”
“Sudah, cepat berangkat!”
***