Sabtu, 01 Maret 2014

Story : Iroiro Arigatou, nee!

Konbanwa, Minna-san! :D Entah kenapa Kitsune baru semangat nulis, nih! :D :3 *dijitak* Yak, story buatan Kitsune kali ini terinspirasi oleh lagu GUMI-chan yang judulnya Kimi ni Gomen ne :D Karena Kitsune baru kurang kerjaan, jadinya bikin cerita, deh xD *ditimpuk sendal* Selamat membaca! :D




Iroiro Arigatou, nee!

            Maaf, diriku ini begitu egois.
            Maaf, diriku ini begitu bodoh dan kekanakan.
            Maaf, diriku yang egois, bodoh, dan kekanakan ini sangat menyukaimu.


            Sinar mentari musim panas menerobos jendela kelas yang sederhana ini. Mataku menyapu sekeliling. Aku mendesah panjang dan menopangkan dagu. Dua menit lagi pelajaran tambahan musim panas akan dimulai, sedangkan orang yang kutunggu-tunggu tak kunjung datang.
            Tepat setelah bel masuk berbunyi, pintu belakang kelas menjeblak. Yuzu berdiri di sana dengan napas tak teratur. Mungkin ia berlari di sepanjang jalan menuju sekolah. Tapi syukurlah dia datang hari ini.
            Rasa legaku mendadak lenyap ketika Miki menghampiri Yuzu dan menyapanya. Ia bertanya. “Yukkun terlambat lagi, ya?” dengan suaranya yang lembut disusul dengan senyum menyilaukannya.
            Yuzu tertawa. “Tidak, kok! Buktinya sensei belum masuk ke kelas,” jawabnya. Wajahnya bersemu merah. Ah, hatiku nyeri melihat pemandangan itu. Aku tahu Yuzu yang sangat kukagumi itu tak mempunyai rasa padaku. Aku tahu Yuzu yang baik hati dan sempurna menyukai Miki yang cantik dan memiliki senyum manis itu. Aku tahu itu, tapi sisi egoisku menyangkalnya. Itulah yang membuatku bertahan selama ini.
            Tak lama kemudian, sensei memasuki kelas. Setelah berbasa-basi sedikit, beliau melanjutkan pelajaran. Tatapanku tertuju pada sensei yang sedang menulis di papan tulis, namun pikiranku melayang jauh menembus alam bawah sadarku.


            Hujan turun tak terduga di siang yang semula cerah ini. Awan hitam bergelut di angkasa seolah akan memuntahkan bergalon-galon air. Aku berdiri di depan pintu masuk sambil meratapi nasibku yang tak membawa payung hari ini.
            Setelah mengalami perdebatan panjang dengan diriku sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk pulang menerobos hujan dengan resiko basah kuyup sampai rumah dan kemungkinan akan terserang demam. Begitu aku akan berlari, seseorang dari belakang menahanku. Kutolehkan kepala, dan terlihat Yuzu yang sedang menahan lenganku.
            “Kau berani menembus hujan sederas ini?” tanyanya dengan suara lembut.
            Aku hanya berkata pasrah. “Aku tak punya pilihan lain...”
            “Kalau begitu, bagaimana kalau pulang bersamaku saja?” tawarnya.
            Eh? Apakah aku salah dengar? Atau aku sedang bermimpi? Baru saja Yuzu berkata...
            “Tenang saja, Hana. Kita searah, kok!” katanya. “Lagipula aku bawa payung yang cukup lebar, kok! Nih!” Yuzu mengacungkan payungnya yang berwarna putih dengan garis tepi berwarna hitam.
            Ingin aku berkata, ‘Tentu saja! Aku mau, kok!’ saat itu juga. Namun, entah kenapa aku merasa tak enak padanya. “Tapi, aku akan merepotkanmu...” ujarku kemudian.
            Yuzu tertawa. Ah, tawa itu...
            “Mana tega aku membiarkan seorang gadis berlarian di tengah hujan begini? Tentu saja aku tak merasa kerepotan!” jawabnya. Ah, Yuzu...
            Aku tetap terdiam di tempat. Ragu. Pulang bersama Yuzu atau berjalan menembus hujan sendirian? Sebelum aku memutuskannya, Yuzu membuka payungnya dan membimbingku untuk berjalan di sampingnya.
            Aku merasa bersyukur. Walaupun kami tak banyak bicara, aku tetap merasa senang. Terima kasih, Tuhan. Engkau telah memberiku kesempatan untuk berada di samping orang yang kukagumi walau hanya sebentar. Sebuah perasaan nyaman menjalari hatiku. Dinginnya hujan berubah menjadi hangat bagiku.
            Akhirnya kami sampai di depan rumahku. Aku membungkukkan badanku. “Terima kasih, Yuzu.”
            Yuzu tersenyum. “Tidak masalah. Lain kali bawa payung buat jaga-jaga, ya!” seru Yuzu sambil melambaikan tangannya, kemudian berlalu. Aku masih berdiri di teras sampai sosok Yuzu menghilang di belokan depan. Sekali lagi aku tersenyum. Hari yang mendung kali ini berubah menjadi cerah berkat dirinya.


            Kali ini akulah yang terlambat masuk ke kelas. Setelah meminta maaf pada sensei, aku langsung berjalan ke tempat dudukku. Aku meletakkan tasku di gantungan sebelah kanan mejaku kemudian menoleh ke arah Yuzu. Tatapan Yuzu tertuju ke arahku, namun tatapan yang teduh itu bukanlah untukku. Tatapan lembut Yuzu itu hanya untuk Miki seorang, dan bukan yang lain. Tiba-tiba saja dadaku terasa sesak. Sungguh, aku benci merasakannya.
            Bel istirahat pun berbunyi. Aku segera merapikan barang-barangku yang berada di atas meja dan beranjak keluar dari kelas yang mendadak terasa menyesakkan ini. Namun, niatku terbatalkan karena sebuah pertanyaan temanku.
            “Hei, Miki, kau berpacaran dengan ketua klub judo, ya?”
            “Benarkah itu, Miki?”
            “Beritahu, dong!”
            “Iya, beritahu kami!”
            Miki terlihat bingung akan hujatan pertanyaan itu. Tapi akhirnya ia menjawab dengan wajah bersemu merah, “Iya, baru dua hari ini...”
            Sementara teman-teman yang lain memberi selamat kepada Miki, aku menoleh ke arah tempat duduk Yuzu. Pemuda itu masih di sana. Raut mukanya tampak kaget begitu mendengar berita itu. Tanganku terkepal di sisi tubuhku. Tolong, jangan tunjukkan wajahmu seperti itu. Aku tak mau kau seperti ini. Aku ingin kau tersenyum. Tolong, jangan begini...
            Aku tak tahan lagi. Kutarik tangan Yuzu dan membawanya ke atap sekolah. Langit biru menghadang kami begitu kami sampai di atap. Aku pun melepaskan pegangan tanganku dan berdiri berhadapan dengan Yuzu. Aku akan mengatakannya. Ya, aku akan mengatakannya.
            “Aku suka...”
            Yuzu terlihat heran. “Hana...?”
            Aku mengangkat wajahku. Air mata sudah tiba di pelupuk mataku, bersiap-siap untuk menghujani pipiku. “Aku yang egois, bodoh, dan kekanakan ini menyukaimu, Yuzuru. Aku menyukaimu...”
            Ah, apa yang kukatakan? Aku menangkap kilatan kaget di mata Yuzu. Ia tampak terkejut. Reaksi apa yang akan ia berikan? Bagaimanakah hubunganku dan Yuzu setelah kata-kata tadi terucap? Masih samakah? Atau ia semakin menjauh? Ingin sekali aku menarik kata-kataku tadi.
            Sungguh akhir yang bisa kuduga. Yuzu membungkuk dalam-dalam. Suaranya lembut, tapi aku bisa merasakan rasa bersalah di dalamnya. “Terima kasih, Hana. Aku senang kau menyukaiku. Tapi, entah kenapa ada orang lain yang susah kulupakan...”
            “Miki, ‘kan?” tanyaku hati-hati.
            Yuzu mengangkat wajahnya, kaget. “Bagaimana kau...”
            “Aku sudah tahu, Yuzu.” Ah, aku sudah tak kuat menahan air mataku. “Aku sudah tahu.”
            Raut muka Yuzu kembali dihiasi oleh rasa bersalah. “Maafkan aku, Hana...”
            Aku menggeleng. Tolong, air mataku. Berhentilah mengalir. “Justru aku yang meminta maaf, Yuzu. Kata-kataku tadi pasti membuatmu semakin merasa terbebani...”
            “Hana...”
            “Satu lagi, Yuzu,” aku melangkah dan berdiri di samping Yuzu. “Terima kasih, untuk semuanya,” bisikku, kemudian melangkah pelan dan menuruni tangga. Aku tak kuat lagi menahan air mataku. Akhirnya aku berhenti dan duduk di sebuah anak tangga, menangis. Aku tahu Yuzu tak pernah menyukaiku. Aku tahu Yuzu menyukai Miki. Aku tahu semua itu. Tapi, bolehkah aku menyukaimu, Yuzu?
            Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah mendoakan kebahagiaanmu. Aku ingin kau tersenyum. Aku ingin kau tersenyum lagi seperti biasanya. Biarlah perasaan ini bertepuk sebelah tangan. Yang kunginkan hanyalah kebahagiaan dirimu seorang.

            Terima kasih, Yuzuru. Terima kasih...




Gyaaa! Terlalu shoujo! :o Saya nggak bakat kalau disuruh buat cerita Shounen T^T Nggak apa, lah, yang penting Kitsune udah berusaha xD *ditabok* Ja, sampai sini dulu, nee! :D See ya! :)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar