Konbanwa, Minna-san! :D Entah kenapa Kitsune baru semangat nulis, nih! :D :3 *dijitak* Yak, story buatan Kitsune kali ini terinspirasi oleh lagu GUMI-chan yang judulnya Kimi ni Gomen ne :D Karena Kitsune baru kurang kerjaan, jadinya bikin cerita, deh xD *ditimpuk sendal* Selamat membaca! :D
Iroiro Arigatou, nee!
Maaf, diriku ini begitu egois.
Maaf, diriku ini begitu bodoh dan
kekanakan.
Maaf, diriku yang
egois, bodoh, dan kekanakan ini sangat menyukaimu.
Sinar mentari
musim panas menerobos jendela kelas yang sederhana ini. Mataku menyapu
sekeliling. Aku mendesah panjang dan menopangkan dagu. Dua menit lagi pelajaran
tambahan musim panas akan dimulai, sedangkan orang yang kutunggu-tunggu tak
kunjung datang.
Tepat setelah bel
masuk berbunyi, pintu belakang kelas menjeblak. Yuzu berdiri di sana dengan
napas tak teratur. Mungkin ia berlari di sepanjang jalan menuju sekolah. Tapi
syukurlah dia datang hari ini.
Rasa legaku
mendadak lenyap ketika Miki menghampiri Yuzu dan menyapanya. Ia bertanya.
“Yukkun terlambat lagi, ya?” dengan suaranya yang lembut disusul dengan senyum
menyilaukannya.
Yuzu tertawa.
“Tidak, kok! Buktinya sensei belum masuk ke kelas,” jawabnya. Wajahnya bersemu
merah. Ah, hatiku nyeri melihat pemandangan itu. Aku tahu Yuzu yang sangat
kukagumi itu tak mempunyai rasa padaku. Aku tahu Yuzu yang baik hati dan
sempurna menyukai Miki yang cantik dan memiliki senyum manis itu. Aku tahu itu,
tapi sisi egoisku menyangkalnya. Itulah yang membuatku bertahan selama ini.
Tak lama kemudian,
sensei memasuki kelas. Setelah berbasa-basi sedikit, beliau melanjutkan
pelajaran. Tatapanku tertuju pada sensei yang sedang menulis di papan tulis,
namun pikiranku melayang jauh menembus alam bawah sadarku.
Hujan turun tak
terduga di siang yang semula cerah ini. Awan hitam bergelut di angkasa seolah
akan memuntahkan bergalon-galon air. Aku berdiri di depan pintu masuk sambil
meratapi nasibku yang tak membawa payung hari ini.
Setelah mengalami
perdebatan panjang dengan diriku sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk pulang
menerobos hujan dengan resiko basah kuyup sampai rumah dan kemungkinan akan
terserang demam. Begitu aku akan berlari, seseorang dari belakang menahanku.
Kutolehkan kepala, dan terlihat Yuzu yang sedang menahan lenganku.
“Kau berani
menembus hujan sederas ini?” tanyanya dengan suara lembut.
Aku hanya berkata
pasrah. “Aku tak punya pilihan lain...”
“Kalau begitu,
bagaimana kalau pulang bersamaku saja?” tawarnya.
Eh? Apakah aku
salah dengar? Atau aku sedang bermimpi? Baru saja Yuzu berkata...
“Tenang saja,
Hana. Kita searah, kok!” katanya. “Lagipula aku bawa payung yang cukup lebar,
kok! Nih!” Yuzu mengacungkan payungnya yang berwarna putih dengan garis tepi
berwarna hitam.
Ingin aku berkata,
‘Tentu saja! Aku mau, kok!’ saat itu juga. Namun, entah kenapa aku merasa tak
enak padanya. “Tapi, aku akan merepotkanmu...” ujarku kemudian.
Yuzu tertawa. Ah,
tawa itu...
“Mana tega aku
membiarkan seorang gadis berlarian di tengah hujan begini? Tentu saja aku tak
merasa kerepotan!” jawabnya. Ah, Yuzu...
Aku tetap terdiam
di tempat. Ragu. Pulang bersama Yuzu atau berjalan menembus hujan sendirian?
Sebelum aku memutuskannya, Yuzu membuka payungnya dan membimbingku untuk
berjalan di sampingnya.
Aku merasa
bersyukur. Walaupun kami tak banyak bicara, aku tetap merasa senang. Terima
kasih, Tuhan. Engkau telah memberiku kesempatan untuk berada di samping orang
yang kukagumi walau hanya sebentar. Sebuah perasaan nyaman menjalari hatiku.
Dinginnya hujan berubah menjadi hangat bagiku.
Akhirnya kami
sampai di depan rumahku. Aku membungkukkan badanku. “Terima kasih, Yuzu.”
Yuzu tersenyum.
“Tidak masalah. Lain kali bawa payung buat jaga-jaga, ya!” seru Yuzu sambil
melambaikan tangannya, kemudian berlalu. Aku masih berdiri di teras sampai
sosok Yuzu menghilang di belokan depan. Sekali lagi aku tersenyum. Hari yang
mendung kali ini berubah menjadi cerah berkat dirinya.
Kali ini akulah
yang terlambat masuk ke kelas. Setelah meminta maaf pada sensei, aku langsung
berjalan ke tempat dudukku. Aku meletakkan tasku di gantungan sebelah kanan
mejaku kemudian menoleh ke arah Yuzu. Tatapan Yuzu tertuju ke arahku, namun
tatapan yang teduh itu bukanlah untukku. Tatapan lembut Yuzu itu hanya untuk
Miki seorang, dan bukan yang lain. Tiba-tiba saja dadaku terasa sesak. Sungguh,
aku benci merasakannya.
Bel istirahat pun
berbunyi. Aku segera merapikan barang-barangku yang berada di atas meja dan
beranjak keluar dari kelas yang mendadak terasa menyesakkan ini. Namun, niatku
terbatalkan karena sebuah pertanyaan temanku.
“Hei, Miki, kau
berpacaran dengan ketua klub judo, ya?”
“Benarkah itu, Miki?”
“Beritahu, dong!”
“Iya, beritahu
kami!”
Miki terlihat
bingung akan hujatan pertanyaan itu. Tapi akhirnya ia menjawab dengan wajah
bersemu merah, “Iya, baru dua hari ini...”
Sementara
teman-teman yang lain memberi selamat kepada Miki, aku menoleh ke arah tempat
duduk Yuzu. Pemuda itu masih di sana. Raut mukanya tampak kaget begitu
mendengar berita itu. Tanganku terkepal di sisi tubuhku. Tolong, jangan
tunjukkan wajahmu seperti itu. Aku tak mau kau seperti ini. Aku ingin kau
tersenyum. Tolong, jangan begini...
Aku tak tahan
lagi. Kutarik tangan Yuzu dan membawanya ke atap sekolah. Langit biru
menghadang kami begitu kami sampai di atap. Aku pun melepaskan pegangan
tanganku dan berdiri berhadapan dengan Yuzu. Aku akan mengatakannya. Ya, aku
akan mengatakannya.
“Aku suka...”
Yuzu terlihat
heran. “Hana...?”
Aku mengangkat
wajahku. Air mata sudah tiba di pelupuk mataku, bersiap-siap untuk menghujani
pipiku. “Aku yang egois, bodoh, dan kekanakan ini menyukaimu, Yuzuru. Aku menyukaimu...”
Ah, apa yang
kukatakan? Aku menangkap kilatan kaget di mata Yuzu. Ia tampak terkejut. Reaksi
apa yang akan ia berikan? Bagaimanakah hubunganku dan Yuzu setelah kata-kata
tadi terucap? Masih samakah? Atau ia semakin menjauh? Ingin sekali aku menarik
kata-kataku tadi.
Sungguh akhir yang
bisa kuduga. Yuzu membungkuk dalam-dalam. Suaranya lembut, tapi aku bisa
merasakan rasa bersalah di dalamnya. “Terima kasih, Hana. Aku senang kau
menyukaiku. Tapi, entah kenapa ada orang lain yang susah kulupakan...”
“Miki, ‘kan?” tanyaku
hati-hati.
Yuzu mengangkat
wajahnya, kaget. “Bagaimana kau...”
“Aku sudah tahu,
Yuzu.” Ah, aku sudah tak kuat menahan air mataku. “Aku sudah tahu.”
Raut muka Yuzu
kembali dihiasi oleh rasa bersalah. “Maafkan aku, Hana...”
Aku menggeleng. Tolong,
air mataku. Berhentilah mengalir. “Justru aku yang meminta maaf, Yuzu. Kata-kataku
tadi pasti membuatmu semakin merasa terbebani...”
“Hana...”
“Satu lagi, Yuzu,”
aku melangkah dan berdiri di samping Yuzu. “Terima kasih, untuk semuanya,”
bisikku, kemudian melangkah pelan dan menuruni tangga. Aku tak kuat lagi
menahan air mataku. Akhirnya aku berhenti dan duduk di sebuah anak tangga,
menangis. Aku tahu Yuzu tak pernah menyukaiku. Aku tahu Yuzu menyukai Miki. Aku
tahu semua itu. Tapi, bolehkah aku menyukaimu, Yuzu?
Yang bisa
kulakukan sekarang hanyalah mendoakan kebahagiaanmu. Aku ingin kau tersenyum. Aku
ingin kau tersenyum lagi seperti biasanya. Biarlah perasaan ini bertepuk
sebelah tangan. Yang kunginkan hanyalah kebahagiaan dirimu seorang.
Terima kasih, Yuzuru.
Terima kasih...
Gyaaa! Terlalu shoujo! :o Saya nggak bakat kalau disuruh buat cerita Shounen T^T Nggak apa, lah, yang penting Kitsune udah berusaha xD *ditabok* Ja, sampai sini dulu, nee! :D See ya! :)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar