Suatu saat nanti, kami akan berdiri di altar
suci ini. Saling pandang dengan binar bahagia dan mengucap janji suci dengan
penuh kesungguhan. Itulah mimpi kami. Dan kami percaya, ‘suatu saat nanti’ itu
akan datang dengan limpahan kebahagiaan untuk kami.
YAKUSOKU
OC © Kitsuneshi Rei a.k.a Fathan
N.S.
Genre : Romance, Hurt/Comfort (?)
Rating : K+
Warning : Two-shoot gagal, typo(s),
gaje, abal-abal, nggak sesuai EYD, plot nggak jelas, garing, ending ngawur,
dll.
CHAPTER 2
Takao
mengetuk pintu kamar Oozora dua kali, namun tidak ada suara maupun sahutan dari
dalam sana. Ia mengacak-acak surainya dengan kasar. Entah mengapa pemuda itu
tiba-tiba mengingat kejadian beberapa menit lalu yang sempat membuatnya gusar. Apa
yang membuat remaja laki-laki itu sempat uring-uringan? Mari kita lihat sejenak
~
Flashback ~
Sebuah
kurva kecil terbentuk di wajah Takao yang sedang berduaan dengan belahan
jiwanya itu—yang tidak lain dan tidak bukan adalah kamera kesayangannya. Pemuda
manis itu mengarahkan lensa benda itu ke arah langit yang cukup cerah hari ini,
meskipun beberapa awan terlihat menggantung di atas sana. Mentari pagi
mengintip malu-malu di antara kerumunan awan. Cahayanya menembus celah-celah
awan, membuat polesan seperti hujan cahaya dari langit. Sekali lagi pemuda itu
tersenyum.
Takao
duduk di atas rerumputan yang masih basah oleh embun walaupun bola raksasa
keemasan itu sudah cukup tinggi di langit. Pemuda itu enggan beranjak dari
sana. Ia beristirahat dan melihat hasil potretannya pagi ini yang
lumayan—sangat—banyak. Takao mempunyai ketertarikan tersendiri dengan langit,
dan sampai sekarang ia tidak tahu alasannya mengapa ia suka itu.
Suasana
hati Takao yang saat itu dipenuhi dengan bunga-bunga musim semi pun mulai
berubah menjadi kaca retak karena ponselnya yang menjerit-jerit ditambah
bergetar hebat di saku celananya. Takao langsung mengutuki ponselnya yang malang
karena sudah berani-beraninya mengganggu saat-saat indahnya bersama sang kamera
tercinta. Gemuruh kesal di dadanya akhirnya berubah menjadi sweatdrop—atau mungkin senang—begitu
melihat nama yang tertera di layar. Takao langsung membuka flap, menekan tombol ‘jawab’, dan menempelkan benda yang
dikutukinya tadi di telinganya. Suara Oozora begitu ceria di seberang sana, seolah
tidak sadar—bukan, lebih tepatnya Oozora tidak tahu—bahwa ia telah membuat
Takao melontarkan kata-kata kutukan pada ponselnya yang sama sekali tidak
berdosa. Gadis itu meminta Takao untuk datang ke rumahnya dan memutus sambungan
telepon tanpa menjelaskan alasan yang lebih detail. Mata Takao memincing,
menatap ponsel yang flap-nya sudah
ditutup dengan tatapan sangsi. Akhirnya ia pun memasukkan benda itu ke sakunya
kembali dan melangkah pergi, tak lupa ia membawa kamera tercintanya ke rumah
Oozora
~
End of Flashback ~
Kepala
gadis itu menyembul dari ruangan di sebelah kamarnya. Ia mengibas-ibaskan
tangannya, meminta Takao untuk ke sana. Takao pun mengikutinya, dan tertegun
melihat pemandangan yang ada di depan matanya. Ruang kerja Oozora yang semula
polos dan sederhana ini disulap menjadi sebuah ruangan yang bergaya Victorian. Takao
masih terpana, tentu saja.
“Ao,
lihat!” Oozora menyeret Takao menuju almari pakaian di sudut ruangan dan
membukanya. “Aku mengerjakannya seminggu ini, lho! Aku juga membuatkan kostum
untukmu!” ujar Oozora dengan kilatan senang di manik hazelnya.
“Kau
mengerjakan semua ini selama seminggu penuh? Sendirian?” tanya Takao setengah
tidak percaya. Tangannya menelusuri pakaian bergaya Victorian lainnya yang
sudah tergantung rapi di sana. Rupanya Oozora benar-benar tertarik dengan film
yang ditontonnya minggu lalu.
Oozora
mengacak-acak surai hitam panjangnya. “Ibu membantuku juga, sih,” jawabnya
salah tingkah. “Terlalu berlebihan, ya?”
Takao
tersenyum. Ia menepuk puncak kepala Oozora dengan sayang. “Bagus, kok,”
bisiknya di dekat telinga gadis itu. “Kau sudah berjuang, Sora.”
O-oh,
debaran tak teratur mulai merayapi jantung Oozora. Rona kemerahan mulai hinggap
di pipinya tanpa permisi. Ditampiknya tangan Takao seperti dulu dan menyibukkan
diri dengan baju-baju di depannya. Ia langsung memberengut begitu mendengar
kekehan pelan Takao.
“Hei,
bukankah baju-baju ini cocok dipakai saat pernikahan?” tanya Takao sambil
meraih setelan berwarna onyx.
Oozora
mengetukkan telunjuknya di dagu. “Hmm... iya, sih,” jawabnya asal. “Memangnya
kenapa?”
Takao
tersenyum penuh arti. “Jika kita menikah nanti...” Takao memperlihatkan deretan
gigi putihnya, “... bagaimana kalau kita bercosplay?”
Gadis
bersurai hitam panjang itu terdiam, kemudian seulas senyum merekah di bibirnya.
“Well, akan kunantikan saat itu tiba,” balasnya.
- YAKUSOKU -
“... ra? Sora? Hei, Sora!”
Kelopak mataku
terbuka, namun sepasang manik hazel milikku ini enggan untuk fokus, memaksa
untuk bersembunyi kembali. Desir angin musim semi menyapaku yang kini sedang
beradu pandang dengan sepasang manik cokelat di depanku ini. Ah, manik cokelat
yang teduh itu...
Sang empu manik
itu tersenyum dan menepuk puncak kepalaku dengan sayang, menyeret kesadaranku
kembali ke alam nyata. “Jangan biarkan angin membuatmu sakit, Sora,” kata
pemuda itu pengertian. “Besok adalah hari yang sangat penting, kau tahu?”
Aku membalas
senyumnya. “Aku baik-baik saja, Ao. Lagipula aku hanya ingin menghabiskan
masa-masa terakhirku sebagai seorang Yamada sebelum margaku berganti,” jelasku.
Kulihat tanganku masih memegang rajutan yang baru setengah jadi.
“Baiklah, tapi
jangan terlalu lama, ya? Aku tidak mau kau jatuh sakit di hari pernikahan kita
nanti.” Sekali lagi orang ini menunjukkan rasa perhatiannya padaku, calon
istrinya.
“Yes, Sir!”
seruku sambil membentuk pose hormat pada orang yang ada di depanku itu. Setelah
aku benar-benar sendirian di ruangan ini, tanganku kembali menggerakkan jarum
yang tadinya tertancap di kain. Aku merenung. Semakin jari ini menggerakkan
jarum kecil yang menyusun anyaman-anyaman monoton, kenangan masa lalu itu
terajut kembali. Wajahku menengadah. Kepakan naik-turun sepasang sayap seekor
burung yang mengarungi lautan biru di atas sana membuat cairan panas di mataku
berkumpul menjadi satu, mengingatkanku pada sesosok teman semasa kecil dengan
manik cokelat teduh dan surai cokelat kehitaman yang begitu kurindukan. Kuhela napasku
panjang-panjang. Tanpa sadar tanganku bergerak menuju laci meja, membukanya,
dan mengambil secarik foto yang tergeletak di sana. Foto terakhir kami berdua
sebelum kami terpisahkan oleh jarak. Aku tak pernah bosan memandanginya
walaupun sudah bertahun-tahun lamanya. Dan seperti sebelumnya, butir-butir
bening itu kembali terjun bebas dari mataku tanpa izin. Diriku kembali terlarut
dalam kenangan masa lalu, dan lagi-lagi cairan bening itu kembali menetes.
Kau masih ingat
janji itu, ‘kan, Ao?
Pintu kamarku
terbuka. Dengan cepat kuhapus benda bening yang tersisa di mata dan pipiku. Manik
cokelat itu kembali dengan air muka kecewa.
“Ada apa?”
tanyaku dengan suara sedikit serak.
Ia menghempaskan
tubuhnya di kursi sampingku. “Bagian belakang gaunmu sobek, padahal besok kau
sudah memakainya. Sudah beberapa kali kuminta mereka untuk memperbaikinya lagi,
tapi mereka bilang itu tidak akan selesai tepat pada waktunya,” keluhnya. “Bagaimana
ini? Apakah kita harus membeli—”
“Itu tidak
perlu, Aoki,” potongku cepat.
“Eh?”
“Karena dulu aku
pernah menjahit kostum yang bisa dipakai saat pernikahan...” Seulas senyum
misterius tersungging di wajahku. “... bagaimana kalau kita bercosplay?”
-
YAKUSOKU -
Semburat jingga
sudah terlukis di cakrawala. Kuturunkan kameraku dan berjalan menuju bangku
terdekat untuk melepas lelah sejenak. Seperti biasa, langit yang luas ini
begitu membuatku jatuh hati. Kupandangi sepucuk surat yang berada di atas
tasku. Bibirku membentuk sebuah lengkungan senyum. Langit yang luas, ya?
Ponselku bergetar.
Sebuah pesan masuk dari rekan klub basketku berkata bahwa ia akan menjemputku
tak lama lagi. Kubalas pesan singkat itu dan kututup flap ponselku. Dengan asal kujejalkan ponsel malang itu ke dalam
saku celana. Tanganku meraih kamera dan melihat hasil jepretanku hari ini dan
sebelumnya. Gambar demi gambar berganti, dan akhirnya terhenti pada potret
diriku bersama sosok bersurai hitam panjang. Mataku menerawang. Semilir angin
sore musim semi memainkan surai cokelat kehitamanku. Foto itu merupakan foto
terakhirku bersama gadis itu sebelum jarak memisahkan kami. Melihat mata hazelnya
yang lembut membuatku semakin merindukannya.
Aku sadar, waktu
berlalu begitu cepat. Sekali lagi kupandang langit sore yang semakin gelap. Aku
menengadah. Mata ini masih memandang pemandangan yang sama. Sudah sepuluh tahun
sejak janji itu terucap, tapi semua itu sudah berubah. Walau begitu, seperti
lem yang mengikat kuat, kata-kata kami saat itu masih membekas di hati kami
sampai sekarang.
Kita akan selalu
mengingatnya. Bukan begitu, Sora?
“Hah! Akhirnya sampai
juga!”
Aku menoleh dan
mendapati temanku yang berdiri di sana dengan napas yang tidak teratur. “Kau
lama, Kazuma,” protesku.
Orang yang
kupanggil Kazuma itu mencibir. “Ngomong-ngomong, itu surat dari siapa?”
tanyanya sambil menunjuk surat yang tergeletak di atas tasku.
Aku memasukkannya
ke dalam tas dan memalingkan muka. “Dari temanku,” balasku pelan. Atau lebih tepatnya orang yang kucintai,
tambahku dalam hati. “Itu tidak penting, kau tahu. Lagipula, bagaimana
pertandingan kita selanjutnya?”
Kazuma
menjentikkan jarinya. “Pelatih bilang kita akan berhadapan dengan tim yang
lebih kuat, lho! Katanya mereka menduduki peringkat dua nasional!” ucapnya
bersemangat.
“Peringkat dua nasional, ya?” Aku
melipat tanganku di depan dada. Bibirku kembali membentuk sebuah kurva. “Well,
akan kunantikan saat itu tiba.”
-
End -
A/N :
Wuaah, akhirnya jadi juga two-shoot gagal (?) ini :'D *terharu* *sujud syukur* Kayaknya kalau Hai-niichan nggak ngrecokin Kitsune buat nge-publish story ini pastinya Kitsune bakal nggak nglanjutin xD (Maafkan author nista ini, Minna-san m(_ _)m )
Gimana? Menarik? Garing? Atau nggak jelas? :D Sebenernya story ini udah Kitsune buat jauuuuuhhhh sebelum UN. Tapi apalah daya, Kitsune begitu malas buat nge-post xD *digantung* Oh iya, kalau ada missed typo(s) yang bertebaran di atas sana tolong maklum, nee (Soalnya Kitsune ngetiknya ngebut, nggak merhatiin sekeliling xD #plakk)
Ngomong-ngomong, kanjinya Oozora itu dari 'Ookina' (luas) sama 'Sora' (langit). Kalau Takao itu dari 'Taka' (elang) sama 'Ao' (biru). Makanya panggilan dua orang itu jadi 'Sora' sama 'Ao'. Entah salah atau benar, Kitsune sih cuek xD *dibantai*
Well, sudah cukup cuap-cuapnya :D Mata Kitsune udah pedas liat laptop dari tadi :' Jaa nee, Minna! (^_^)/