Jumat, 30 Mei 2014

My Story : Yakusoku (2nd Chapter, End)

            Suatu saat nanti, kami akan berdiri di altar suci ini. Saling pandang dengan binar bahagia dan mengucap janji suci dengan penuh kesungguhan. Itulah mimpi kami. Dan kami percaya, ‘suatu saat nanti’ itu akan datang dengan limpahan kebahagiaan untuk kami.



YAKUSOKU
OC © Kitsuneshi Rei a.k.a Fathan N.S.
Genre : Romance, Hurt/Comfort (?)
Rating : K+
Warning : Two-shoot gagal, typo(s), gaje, abal-abal, nggak sesuai EYD, plot nggak jelas, garing, ending ngawur, dll.



CHAPTER 2
            Takao mengetuk pintu kamar Oozora dua kali, namun tidak ada suara maupun sahutan dari dalam sana. Ia mengacak-acak surainya dengan kasar. Entah mengapa pemuda itu tiba-tiba mengingat kejadian beberapa menit lalu yang sempat membuatnya gusar. Apa yang membuat remaja laki-laki itu sempat uring-uringan? Mari kita lihat sejenak

~ Flashback ~

            Sebuah kurva kecil terbentuk di wajah Takao yang sedang berduaan dengan belahan jiwanya itu—yang tidak lain dan tidak bukan adalah kamera kesayangannya. Pemuda manis itu mengarahkan lensa benda itu ke arah langit yang cukup cerah hari ini, meskipun beberapa awan terlihat menggantung di atas sana. Mentari pagi mengintip malu-malu di antara kerumunan awan. Cahayanya menembus celah-celah awan, membuat polesan seperti hujan cahaya dari langit. Sekali lagi pemuda itu tersenyum.

            Takao duduk di atas rerumputan yang masih basah oleh embun walaupun bola raksasa keemasan itu sudah cukup tinggi di langit. Pemuda itu enggan beranjak dari sana. Ia beristirahat dan melihat hasil potretannya pagi ini yang lumayan—sangat—banyak. Takao mempunyai ketertarikan tersendiri dengan langit, dan sampai sekarang ia tidak tahu alasannya mengapa ia suka itu.

            Suasana hati Takao yang saat itu dipenuhi dengan bunga-bunga musim semi pun mulai berubah menjadi kaca retak karena ponselnya yang menjerit-jerit ditambah bergetar hebat di saku celananya. Takao langsung mengutuki ponselnya yang malang karena sudah berani-beraninya mengganggu saat-saat indahnya bersama sang kamera tercinta. Gemuruh kesal di dadanya akhirnya berubah menjadi sweatdrop—atau mungkin senang—begitu melihat nama yang tertera di layar. Takao langsung membuka flap, menekan tombol ‘jawab’, dan menempelkan benda yang dikutukinya tadi di telinganya. Suara Oozora begitu ceria di seberang sana, seolah tidak sadar—bukan, lebih tepatnya Oozora tidak tahu—bahwa ia telah membuat Takao melontarkan kata-kata kutukan pada ponselnya yang sama sekali tidak berdosa. Gadis itu meminta Takao untuk datang ke rumahnya dan memutus sambungan telepon tanpa menjelaskan alasan yang lebih detail. Mata Takao memincing, menatap ponsel yang flap-nya sudah ditutup dengan tatapan sangsi. Akhirnya ia pun memasukkan benda itu ke sakunya kembali dan melangkah pergi, tak lupa ia membawa kamera tercintanya ke rumah Oozora

~ End of Flashback ~

            Kepala gadis itu menyembul dari ruangan di sebelah kamarnya. Ia mengibas-ibaskan tangannya, meminta Takao untuk ke sana. Takao pun mengikutinya, dan tertegun melihat pemandangan yang ada di depan matanya. Ruang kerja Oozora yang semula polos dan sederhana ini disulap menjadi sebuah ruangan yang bergaya Victorian. Takao masih terpana, tentu saja.

            “Ao, lihat!” Oozora menyeret Takao menuju almari pakaian di sudut ruangan dan membukanya. “Aku mengerjakannya seminggu ini, lho! Aku juga membuatkan kostum untukmu!” ujar Oozora dengan kilatan senang di manik hazelnya.

            “Kau mengerjakan semua ini selama seminggu penuh? Sendirian?” tanya Takao setengah tidak percaya. Tangannya menelusuri pakaian bergaya Victorian lainnya yang sudah tergantung rapi di sana. Rupanya Oozora benar-benar tertarik dengan film yang ditontonnya minggu lalu.

            Oozora mengacak-acak surai hitam panjangnya. “Ibu membantuku juga, sih,” jawabnya salah tingkah. “Terlalu berlebihan, ya?”

            Takao tersenyum. Ia menepuk puncak kepala Oozora dengan sayang. “Bagus, kok,” bisiknya di dekat telinga gadis itu. “Kau sudah berjuang, Sora.”

            O-oh, debaran tak teratur mulai merayapi jantung Oozora. Rona kemerahan mulai hinggap di pipinya tanpa permisi. Ditampiknya tangan Takao seperti dulu dan menyibukkan diri dengan baju-baju di depannya. Ia langsung memberengut begitu mendengar kekehan pelan Takao.

            “Hei, bukankah baju-baju ini cocok dipakai saat pernikahan?” tanya Takao sambil meraih setelan berwarna onyx.

            Oozora mengetukkan telunjuknya di dagu. “Hmm... iya, sih,” jawabnya asal. “Memangnya kenapa?”

            Takao tersenyum penuh arti. “Jika kita menikah nanti...” Takao memperlihatkan deretan gigi putihnya, “... bagaimana kalau kita bercosplay?”

            Gadis bersurai hitam panjang itu terdiam, kemudian seulas senyum merekah di bibirnya. “Well, akan kunantikan saat itu tiba,” balasnya.


- YAKUSOKU -


               “... ra? Sora? Hei, Sora!”

Kelopak mataku terbuka, namun sepasang manik hazel milikku ini enggan untuk fokus, memaksa untuk bersembunyi kembali. Desir angin musim semi menyapaku yang kini sedang beradu pandang dengan sepasang manik cokelat di depanku ini. Ah, manik cokelat yang teduh itu...

Sang empu manik itu tersenyum dan menepuk puncak kepalaku dengan sayang, menyeret kesadaranku kembali ke alam nyata. “Jangan biarkan angin membuatmu sakit, Sora,” kata pemuda itu pengertian. “Besok adalah hari yang sangat penting, kau tahu?”

Aku membalas senyumnya. “Aku baik-baik saja, Ao. Lagipula aku hanya ingin menghabiskan masa-masa terakhirku sebagai seorang Yamada sebelum margaku berganti,” jelasku. Kulihat tanganku masih memegang rajutan yang baru setengah jadi.

“Baiklah, tapi jangan terlalu lama, ya? Aku tidak mau kau jatuh sakit di hari pernikahan kita nanti.” Sekali lagi orang ini menunjukkan rasa perhatiannya padaku, calon istrinya.

“Yes, Sir!” seruku sambil membentuk pose hormat pada orang yang ada di depanku itu. Setelah aku benar-benar sendirian di ruangan ini, tanganku kembali menggerakkan jarum yang tadinya tertancap di kain. Aku merenung. Semakin jari ini menggerakkan jarum kecil yang menyusun anyaman-anyaman monoton, kenangan masa lalu itu terajut kembali. Wajahku menengadah. Kepakan naik-turun sepasang sayap seekor burung yang mengarungi lautan biru di atas sana membuat cairan panas di mataku berkumpul menjadi satu, mengingatkanku pada sesosok teman semasa kecil dengan manik cokelat teduh dan surai cokelat kehitaman yang begitu kurindukan. Kuhela napasku panjang-panjang. Tanpa sadar tanganku bergerak menuju laci meja, membukanya, dan mengambil secarik foto yang tergeletak di sana. Foto terakhir kami berdua sebelum kami terpisahkan oleh jarak. Aku tak pernah bosan memandanginya walaupun sudah bertahun-tahun lamanya. Dan seperti sebelumnya, butir-butir bening itu kembali terjun bebas dari mataku tanpa izin. Diriku kembali terlarut dalam kenangan masa lalu, dan lagi-lagi cairan bening itu kembali menetes.

Kau masih ingat janji itu, ‘kan, Ao?

Pintu kamarku terbuka. Dengan cepat kuhapus benda bening yang tersisa di mata dan pipiku. Manik cokelat itu kembali dengan air muka kecewa.

“Ada apa?” tanyaku dengan suara sedikit serak.

Ia menghempaskan tubuhnya di kursi sampingku. “Bagian belakang gaunmu sobek, padahal besok kau sudah memakainya. Sudah beberapa kali kuminta mereka untuk memperbaikinya lagi, tapi mereka bilang itu tidak akan selesai tepat pada waktunya,” keluhnya. “Bagaimana ini? Apakah kita harus membeli—”

“Itu tidak perlu, Aoki,” potongku cepat.

“Eh?”

“Karena dulu aku pernah menjahit kostum yang bisa dipakai saat pernikahan...” Seulas senyum misterius tersungging di wajahku. “... bagaimana kalau kita bercosplay?”


- YAKUSOKU -


Semburat jingga sudah terlukis di cakrawala. Kuturunkan kameraku dan berjalan menuju bangku terdekat untuk melepas lelah sejenak. Seperti biasa, langit yang luas ini begitu membuatku jatuh hati. Kupandangi sepucuk surat yang berada di atas tasku. Bibirku membentuk sebuah lengkungan senyum. Langit yang luas, ya?

Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari rekan klub basketku berkata bahwa ia akan menjemputku tak lama lagi. Kubalas pesan singkat itu dan kututup flap ponselku. Dengan asal kujejalkan ponsel malang itu ke dalam saku celana. Tanganku meraih kamera dan melihat hasil jepretanku hari ini dan sebelumnya. Gambar demi gambar berganti, dan akhirnya terhenti pada potret diriku bersama sosok bersurai hitam panjang. Mataku menerawang. Semilir angin sore musim semi memainkan surai cokelat kehitamanku. Foto itu merupakan foto terakhirku bersama gadis itu sebelum jarak memisahkan kami. Melihat mata hazelnya yang lembut membuatku semakin merindukannya.

Aku sadar, waktu berlalu begitu cepat. Sekali lagi kupandang langit sore yang semakin gelap. Aku menengadah. Mata ini masih memandang pemandangan yang sama. Sudah sepuluh tahun sejak janji itu terucap, tapi semua itu sudah berubah. Walau begitu, seperti lem yang mengikat kuat, kata-kata kami saat itu masih membekas di hati kami sampai sekarang.

Kita akan selalu mengingatnya. Bukan begitu, Sora?

“Hah! Akhirnya sampai juga!”

Aku menoleh dan mendapati temanku yang berdiri di sana dengan napas yang tidak teratur. “Kau lama, Kazuma,” protesku.

Orang yang kupanggil Kazuma itu mencibir. “Ngomong-ngomong, itu surat dari siapa?” tanyanya sambil menunjuk surat yang tergeletak di atas tasku.

Aku memasukkannya ke dalam tas dan memalingkan muka. “Dari temanku,” balasku pelan. Atau lebih tepatnya orang yang kucintai, tambahku dalam hati. “Itu tidak penting, kau tahu. Lagipula, bagaimana pertandingan kita selanjutnya?”

Kazuma menjentikkan jarinya. “Pelatih bilang kita akan berhadapan dengan tim yang lebih kuat, lho! Katanya mereka menduduki peringkat dua nasional!” ucapnya bersemangat.

“Peringkat dua nasional, ya?” Aku melipat tanganku di depan dada. Bibirku kembali membentuk sebuah kurva. “Well, akan kunantikan saat itu tiba.”



- End -




A/N :
Wuaah, akhirnya jadi juga two-shoot gagal (?) ini :'D *terharu* *sujud syukur* Kayaknya kalau Hai-niichan nggak ngrecokin Kitsune buat nge-publish story ini pastinya Kitsune bakal nggak nglanjutin xD (Maafkan author nista ini, Minna-san m(_ _)m )
Gimana? Menarik? Garing? Atau nggak jelas? :D Sebenernya story ini udah Kitsune buat jauuuuuhhhh sebelum UN. Tapi apalah daya, Kitsune begitu malas buat nge-post xD *digantung* Oh iya, kalau ada missed typo(s) yang bertebaran di atas sana tolong maklum, nee (Soalnya Kitsune ngetiknya ngebut, nggak merhatiin sekeliling xD #plakk)
Ngomong-ngomong, kanjinya Oozora itu dari 'Ookina' (luas) sama 'Sora' (langit). Kalau Takao itu dari 'Taka' (elang) sama 'Ao' (biru). Makanya panggilan dua orang itu jadi 'Sora' sama 'Ao'. Entah salah atau benar, Kitsune sih cuek xD *dibantai*
Well, sudah cukup cuap-cuapnya :D Mata Kitsune udah pedas liat laptop dari tadi :' Jaa nee, Minna! (^_^)/

Jumat, 02 Mei 2014

My Story : Yakusoku (1st Chapter)

            Semakin jari ini menggerakkan jarum kecil yang menyusun anyaman-anyaman monoton, kenangan masa lalu itu terajut kembali. Wajahku menengadah. Kau masih ingat janji itu, ‘kan, Ao?

~ Yamada Oozora ~


            Waktu berlalu begitu cepat. Mata ini masih memandang pemandangan yang sama. Sudah sepuluh tahun sejak janji itu terucap. Seperti lem yang mengikat kuat, kata-kata kami saat itu masih membekas di hati kami sampai sekarang. Bukan begitu, Sora?

~ Kazuhaya Takao ~




YAKUSOKU
OC © Kitsuneshi Rei a.k.a Fathan N. S.
Genre : Romance, Hurt/Comfort (?)
Rating : Setelah dipikir ulang sepertinya K+ XD
Warning : Two-shoot gagal, typo(s), gaje, abal-abal, nggak sesuai EYD, plot nggak jelas, garing, ending ngawur, dll.




CHAPTER 1
            Oozora sedang memberesi peralatan jahitnya ketika pintu kamarnya terketuk. Sembari menurunkan barang-barang yang ada di pangkuannya, gadis itu berjalan tergopoh-gopoh menuju sumber suara. Begitu terbuka, seorang pemuda muncul dari sana, lengkap dengan senyum seribu watt-nya yang sering membuat Oozora meleleh. Gadis itu membalas senyum Takao dan menyingkir dari depan pintu agar pemuda itu bisa masuk.

            “Wah, wah. Lihat siapa yang datang.” Oozora tersenyum jahil. “Kukira kau masih tidur.”

            Takao mencibir. “Kaupikir aku kerbau?”

            “Wo, tunggu sebentar,” cegat Oozora sambil mengangkat kedua tangannya. “Aku bahkan tidak mengatakan apa-apa tentang itu, lho! Kenapa kau sewot?” protesnya.

            Pemuda itu ingin membuka mulut, menyanggah perkataan Oozora. Namun akhirnya hanya tangannya sajalah yang bergerak,menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Surai coklat kehitamannya yang semula tersisir rapi kini acak-acakan. Oozora hanya menunjukkan seringai kemenangan. Melihat itu semua membuat Takao berjalan ke sudut kamar Oozora dan meringkuk di sana.

            Sembari meletakkan kotak berisi peralatan menjahitnya di meja kecil, Oozora terkekeh pelan. “Tak perlu pundung seperti itu. Aku juga pernah kau begitukan dulu,” hiburnya, atau lebih tepatnya membela dirinya sendiri. “Ngomong-ngomong, kau kemari bukan sebagai LC, ‘kan?”

            Kedua alis Takao bertautan. “LC?”

            “Kau tak tahu?” Alih-alih menjawab, Oozora malah bertanya balik. “LC itu Lost Child, kau tahu? Masa kau tak tahu hal semacam i—”

            Dengan sukses sebuah jitakan manis mendarat di kepala Oozora tanpa permisi dengan anggun dan gemulai. Gadis itu meringis memandangi empu si tangan yang berani-beraninya melakukan hal itu tanpa mengingat bahwa gadis itu memiliki berbagai benda tajam di sampingnya yang sayangnya tidak—terlambat—ia lemparkan sebelum jitakan itu mampir di kepalanya tadi. mata Oozora menyipit. Bukan seringai kemenangan yang ditunjukkan Takao. Pemuda itu malah meniup-niup tangan kanannya yang digunakan untuk menjitak Oozora tadi. Tak lupa ia menepukkan tangan dua kali dan berdoa.

            “Kau memaksa tanganku membuat dosa!” protes Takao gusar.

            Oozora menyeringai. “Haha! Lucu sekali, Sir!” tukasnya. “Jadi, bisakah kau katakan tujuanmu datang kemari pagi-pagi?”

            Takao kembali mengacak-acak surai coklat kehitamannya. Manik cokelatnya yang seolah tersenyum itu bertemu dengan manik hazel milik Oozora. “Mau menonton film baru? Shoujo, lho!”

            Krik...

            Krik... krik...

            Krik... krik... krik...

            Keheningan sesaat itu terpecah oleh tawa memekakkan Oozora. Oke, kesabaran Takao sedang diuji di sini. Gadis itu semakin menyebalkan ketika mulai bergelundungan di atas karpet sewarna langit. Tenang, Takao. Takao tidak apa-apa. Takao kuat, batin pemuda itu. Ia hanya bisa mengelus dada untuk mengendalikan napasnya yang mulai tidak teratur dan menahan tangannya agar tidak melakukan dosa lagi.

            “Tak kusangka pemuda kasar sepertimu menyukai hal berbau shoujo,” tawa Oozora sambil memegangi perutnya.

            Pemuda kasar? Bagus. Kata-kata itu begitu menohoknya.

            “Kau membuatku tertawa, Ao!” Kali ini gadis itu kembali bergelundungan.

            Jangan paksa aku untuk membunuhmu, Sora! Seorang Takao ini juga memiliki batas kesabaran!

            “Tapi,” Oozora menghapus butiran bening yang ada di pelupuk matanya, “sebenci apapun aku pada kesukaanmu itu, aku tetap menghargai temanku yang susah payah mengajakku menonton pagi-pagi seperti ini.” Seulas senyum terlukis di wajahnya yang cerah.

            Takao mendengus pelan. “Teman, ya?” gumamnya. “Kau benar-benar tidak mau mengakuinya, ya?”

            “Aku mengakuinya,” jawab Oozora ringan, “hanya saja kata ‘teman’ lebih enak di telingaku,”tambahnya. “Itu saja.”

            Hening, lalu sudut-sudut bibir Takao diangkat ke atas membentuk seulas senyum. Manis sekali. “Baka Sora.” Ia meletakkan tangannya di puncak kepala Oozora dan mengacak-acak surai hitam panjangnya dengan lembut. Sebuah perasaan hangat turun dari kepala gadis itu. Darah di wajahnya berdesir, menuai polesan merah di pipinya. Ditampiknya tangan Takao yang lebih besar darinya dan berlalu ke luar kamar dengan wajah tertunduk. O-oh. Tsundere mode-on rupanya.

            Takao tersenyum simpul. Ia duduk di atas karpet yang tadi dipakai Oozora untuk bergelundungan. Pemuda itu menopangkan dagu dengan siku bertumpu di atas meja kecil yang terletak di tengah-tengah karpet. Manik cokelat itu tampak tertarik dengan benda-benda kecil nan manis yang terletak di depannya. Jarum, benang dengan berbagai warna, manik-manik dan berbagai kancing dengan berbagai ukuran, serta gunting kecil berwarna hitam—tolong ingatkan Takao untuk menyembunyikan gunting itu karena walaupun kecil, gunting itu tentunya ‘berpotensi’ dan tak segan-segan ‘menerjang’ atau ‘menancap’ di kepalanya saat Oozora murka. Pasalnya Oozora suka ‘melemparkan’ barang-barang yang ada di dekatnya saat ia murka. Dan Takao tak mau mengambil resiko ‘dikejar’ atau ‘dipeluk’ oleh benda-benda keras nan tajam itu—tertata rapi di kotak yang berukuran 26x19. Sejak kecil Oozora memang suka menjahit—mulai dari sulaman amburadulnya ketika sekolah dasar hingga baju-baju cosplay-nya yang berhamburang saat ini. Dua remaja yang cukup aneh (?) ini—Takao dan Oozora—memang hobi ber-cosplay ria, tentu saja dengan baju buatan Oozora sendiri dan pengabadian yang dilakukan oleh Takao yang profesional dalam dunia fotografer. Takao suka memotret, dan kesenangannya itu—mungkin—diwarisi dari ayahnya yang merupakan seorang fotografer profesional.

            Oozora kembali dengan nampan berisi dua cangkir dengan teh yang masih mengepul dan sepiring cookies yang baru matang dan meletakkannya di meja kecil. Takao segera mencomot sepotong cookie.

            “Kau tidak berniat untuk menghabiskan semua itu sendirian, ‘kan?” tanya Oozora sambil menyeruput tehnya. Aroma yang terbawa oleh kepulan asap panas itu menggelitik hidung Oozora. Sudut-sudut bibirnya terangkat, membentuk seulas senyum kecil.

            Takao mengerucutkan bibirnya. “Kau pikir aku serakus itu?” balasnya gusar. “Ngomong-ngomong, siapa yang membuat cookie ini? Enak sekali!” celetuknya kemudian. Tangannya kembali mencomot sepotong cookie.

            Sembari berdeham dengan nada bangga, Oozora menjawab, “Tentu saja orang hebat yang berada di depanmu ini!” Bibir Oozora membentuk sebuah seringaian.

            Tiba-tiba saja tubuh Takao bergetar. Air mukanya menegang dan matanya terbelalak. Maniknya menatap cookie-cookie itu dengan binar ketakutan. “Kau... tidak menambahkan sesuatu yang aneh-aneh, ‘kan?”

            ...

            Suara jangkrik kembali terdengar, dan berhenti kembali. Makhluk kecil itu mungkin sudah kabur menyelamatkan diri mengingat aura hitam-ungu-biru bercampur di belakang Oozora. Matanya memincing, kemudian beralih ke gunting kecil nan manisnya yang bertengger di kotak tempat peralatan menjahitnya. Tangannya bergerak perlahan, berusaha meraihnya. Namun, niat jahat bin buruknya itu harus kandas di tengah jalan karena Takao yang lebih cepat sepersekian detik sudah merebut gunting itu duluan dan menyembunyikannya. Oozora mencibir, sedangkan Takao memperlihatkan seringai kali-ini-aku-menang miliknya.

            Seringai kemenangan itu pun masih tampak ketika Takao mengambil cangkir tehnya yang masih terisi penuh di atas meja. Dihirupnya asap teh itu perlahan, membiarkan aromanya mengisi rongga hidung pemuda itu. “Wangi ini... Darjeeling Tea, ya?” Takao menyeruput tehnya. Cairan hangat itu perlahan turun, membuat tubuh Takao juga menghangat.

            Surai hitam itu bergerak maju dan mundur, mengikuti anggukan kepala sang empu. “Aku lupa kalau kau paling peka mengenai hal ini,” timpal Oozora tersenyum. “Jadi, bagaimana kalau kita menonton film itu sekarang sebelum camilan ini habis?”

            Sekeping benda berbentuk bundar dengan lubang lingkaran di tengahnya keluar dari tempat persembunyiannya dan bersiap untuk memasuki DVD player. Takao menunjukkan deretan gigi putihnya. “Yes, my lady.”


- YAKUSOKU -


“Enam... Ah, sembilan puluh menit kurang ternyata.” Takao mengerling pada jam dinding yang bertengger di atas sana. Tangannya meraih cangkir teh dan meminumnya sampai tidak ada setetespun yang tersisa.

“Setting Victorian, ya?” gumam Oozora. Kelopak matanya bergerak naik-turun dengan teratur. Manik matanya tak bisa menyembunyikan binar-binar ketertarikan.

“Sepertinya begitu,” jawab Takao. “Suasana Inggris abad delapan belasannya begitu terasa,” tambahnya. “Memangnya kenapa?”

Lagi-lagi binar ketertarikan itu terlihat. Bibir Oozora membentuk lengkungan senyum. “Aku punya ide!”


- To be Continued - 





Gomen, Minna-san! T-T Kitsune baru bisa muncul sekarang gara-gara terlalu larut sama persiapan UN! :'( (mau UN kok malah main ke sini sih non? -_-" *ditabok*) Tolong maklumi Kitsune yang baru konslet ini, ya, Minna! :') Gomen kalau ada typo yang bertebaran di atas sana xD *dibantai* Semoga kata-katanya nggak terlalu kaku mengingat Kitsune udah jarang nulis sekarang :D
Ja, Kitsune mau lanjut belajar dulu, nee! :D (sekali-kali Kitsune juga butuh mampir ke sini buat refreshing XD *digampar*) Jaa nee! :D Minta doa restunya, ya, Minna! :D :)